Gerabah Kelas Dunia dari Kaki Gunung Padanjakaya: Melestarikan Warisan Seni Tanah Liat



MEDIA KAILI - Di kaki Gunung Padanjakaya, tepatnya di Jalan Keramik, Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga, Kota Palu, lahir sebuah keajaiban seni rupa yang berasal dari tanah liat. Para perajin di kawasan ini, telah mengabdikan hidup mereka untuk mengolah tanah menjadi gerabah berkualitas dunia. Seni gerabah yang diwariskan secara turun-temurun ini tak hanya menjadi sarana mencari nafkah, tetapi juga upaya untuk melestarikan identitas budaya lokal yang kaya.


Rosmin, salah satu pengrajin senior di Kelurahan Duyu, telah menekuni dunia kerajinan tanah liat sejak pertengahan tahun 1980, saat ia masih duduk di bangku SMP. Di usianya yang kini menginjak 52 tahun, ia masih aktif memproduksi gerabah dalam berbagai bentuk sesuai pesanan. Baginya, seni gerabah bukan hanya soal bisnis, tetapi cara untuk menjaga warisan leluhur agar tetap hidup dan diteruskan kepada generasi berikutnya.


Dalam kesehariannya, Rosmin menerima berbagai pesanan, mulai dari belanga ari-ari, tempat dupa, kuali untuk menggoreng kopi, alas belanga, cetakan serabi, cobek, hingga pot bunga. 


“Paling banyak itu, pesanan cetakan serabi, cobek, dan pot bunga,” ujarnya saat ditemui oleh mediakaili.com pada Jumat (18/10/2024). Ia memiliki pelanggan tetap dari Pasar Masomba dan Pasar Inpres, yang setiap bulan memesan hingga 800 gerabah. Meski begitu, Rosmin tetap menjaga harga produknya agar tetap terjangkau, berkisar antara Rp 5.000 hingga Rp 10.000 per unit.


“Yang penting modal sudah kembali dan sudah ada keuntungan sedikit,” ungkapnya dengan rendah hati.


Keunikan gerabah dari Gunung Padanjakaya terletak pada bahan baku tanah liatnya yang memiliki tekstur ideal untuk dibentuk. Proses pembuatannya juga masih menggunakan metode tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Sebelum diolah, tanah dijemur terlebih dahulu, kemudian direndam selama 24 jam dan dicampur dengan pasir. Setelah itu, tanah diolah dengan kaki secara manual hingga siap dibentuk menjadi gerabah. 


"Alat yang dipakai untuk membuat cetakannya hanya biji mangga, bambu yang dibelah dua, dan kayu untuk membentuk pinggirannya, tidak pakai cetakan," jelas Rosmin.


Proses pembakaran pun dilakukan dengan teknik kuno yang menjadi rahasia keawetan dan kualitas tinggi dari gerabah yang dihasilkan. Keaslian dan kualitas inilah yang membuat produk gerabah dari kaki Gunung Padanjakaya diminati tak hanya di pasar lokal, tetapi juga mulai dilirik oleh pasar internasional.



Seni gerabah ini juga mendapat perhatian dari pemerintah Kota Palu, yang melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) telah mengirim beberapa pengrajin, termasuk Rosmin, untuk mengikuti pelatihan di Yogyakarta selama tiga bulan. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan memperkenalkan teknologi baru dalam pembuatan gerabah.


Meski demikian, Rosmin menyampaikan harapannya agar pemerintah lebih memperhatikan kebutuhan pengrajin lokal, terutama dalam pengadaan peralatan seperti tungku pembakaran dan gilingan tanah. 


"Harapan kami pengrajin di sini, pemerintah bisa membantu pengadaan alat yang sesuai dengan kebutuhan kami. Sebelum membeli, sebaiknya koordinasi dulu dengan kami supaya tidak sia-sia seperti bantuan sebelumnya yang rusak karena tidak sesuai," tuturnya.


Gerabah dari kaki Gunung Padanjakaya kini menjadi simbol kekuatan tradisi lokal yang mampu bertahan dan beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan jati dirinya. Karya-karya seni ini tidak hanya menjadi kebanggaan masyarakat Kaili, tetapi juga inspirasi bagi dunia bahwa warisan budaya bisa dikembangkan menjadi produk berkualitas tinggi yang mendunia.



Penulis: Azwar Anas

Post a Comment

To be published, comments must be reviewed by the administrator *

Lebih baru Lebih lama